Pengantin Itu Ternyata…..
Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIB
Pengantin itu ternyata…..
Oleh : Nikmatun Naschikah
Pagi hari telah tiba. Matahari mulai menyinari dunia. Burung-burung berkicauan kesana-kemari. Para warga mulai beraktivitas seperti biasanya. Ada yang guru,kerja kantoran,nelayan dan petani. Tetapi sebagian besar pekerjaan mereka petani dan nelayan. Orang tua mulai mengantarkan anak-anaknya pergi ke sekolah lebih awal. Takut jika akan terlambat. Aku hanya memandangnya saja,tidak melakukannya.
● ● ● ● ●
Namaku Gibran Adiwinata. Teman-teman biasa memanggilku Gibran. Aku tinggal bersama Bapak dan Ibukku. Pekerjaanku adalah sebagai seorang fotografi. Dulu,banyak sekali orderan untuk memotret acara-acara seperti ulang tahun,wisuda,tasyakuran dan hajatan pernikahan. Masalah tempat, tergantung permintaan dari customernya. Waktu itu aku pernah mendapatkan orderan dari Jakarta,Bali dan Malang. Mereka memintaku untuk memotret acara wisuda. Jarang sekali aku mendapatkan orderan yang meminta untuk memotret acara hajatan pernikahan. Tapi, waktu demi waktu, aku jarang sekali mendapatkan orderan.Lebih tepatnya tidak ada. Yang ku lakukan saat ini hanyalah diam di rumah. Bukan berarti diam seterusnya. Terkadang aku membantu ibu membuat kue,membersihkan rumah atau nggak membantu bapak bekerja.
‘’Buk, apa aku harus nyari kerjaan lain,ya?’’ aku bertanya sembari membersihkan kamera yang kotor itu. Pertanyaan itu spontan membuat ibu terkejut mendengarnya.
‘’Emang ada apa dengan pekerjaanmu?Ada masalah dengan pekerjaanmu?’’ tanya ibu.
‘’Tapi buk, aku nggak bisa terus-terusan jadi pengangguran begini semenjak nggak ada orderan. Aku harus kerja,buk! Kan, nggak enak juga kalau dilihat sama orang-orang kalau aku pengangguran. Apalagi aku laki-laki! Apa kata orang-orang nanti?’’ aku mengeluh kepada ibu. Seakan-akan sudah pasrah dengan pekerjaanku.
‘’Berdoa saja yang terbaik. Insyaallah,nanti juga ada yang nge-order kamu. Wes sabar ae,le !’’ ucap ibu sembari pergi meninggalkanku. Aku berhenti sejenak melakukan aktivitasku. Ibu benar,aku harus banyak berdoa dan bersabar. Beberapa menit kemudian, aku mendengar suara notifikasi dari ponselku.
Mas,ini bener nomernya mas Gibran?
Aku terkejut. Nomor tak dikenal itu telah mucul di ponselku. Siapa dia?Kenal aku darimana? batinku.
Hm… iya ini dengan saya,Gibran. Siapa ya ?
Saya Rini. Saya mau minta tolong ke mas
Buat ngepotret acara hajatan kawinan di
Rumah saya. Mas bisa,kan?
Hm… saya bisa. Tapi,biar lebih tau mbak Rini
kasih alamat lengkapnya ke saya,ya!
Iya nanti saya kirimkan alamatnya.
Aku terkejut bahagia. Akhirnya ada orderan juga setelah seminggu ini pengangguran. Tak henti-hentinya aku mengucapkan Alhamdulillah sebagai tanda terima kasih kepada Allah yang sudah mengabulkan doaku.
‘’Onok opo, le?Kok,kowe seneng banget,’’ ucap ibu sembari duduk di sebelahku.
‘’Aku oleh orderan,buk!’’
‘’Alhamdulillah. Saiki kowe wes gak pengangguran maneh!’’
‘’Nggeh,buk. Makasih doane!
Kemudian ibu memelukku dengan perasaan bahagia. Aku membalasnya dengan pelukan kembali. Saking bahagianya. Tak lama, ada suara notifikasi dan itu pasti dari perempuan yang bernama Rini tadi.
Mas niki alamate :
- Melati no.6, Dusun Keramat Kuningan
Jam 21.00 malam
Maturnuwun sanget nggeh,mas
Aku membuka sms dari Rini. Mataku salah fokus dengan alamat ‘Dusun Keramat Kuningan’ dan jam 21.00 malam. Aku sedikit ragu dengan alamat itu. Namanya tidaklah pasaran dan jarang juga ada orang yang mengirimkan alamat dengan nama alamat itu. Begitu juga dengan jam waktunya. Biasanya orang hajatan kawinan itu waktunya pagi atau nggak sore. Dan itupun selesainya sehabis Isya’. Dan ini pertama kalinya aku mendapatkan alamat dan waktu yang sangat ‘asing’ didengar. Bismillah, muga-muga lancar.batinku
● ● ● ● ●
Pagi pun telah tiba. Jam menunjukkan pukul 05.00. Aku segera beranjak dari tempat tidurku dan pergi untuk berwudhu. Setelah berwudhu, aku segera menunaikan sholat shubuh. Setelah sholat, aku segera melipat sajadah dan menaruhnya di atas meja. Aku langsung mengganti pakaianku dengan kaos hitam dan celana jeans. Tak lupa aku membawa ransel dan juga kameraku.
‘’Le, ayo sarapan sek!’’ perintah ibu sembari menyiapkan sarapan. Aku meletakkan ransel dan kameraku di sofa dan pergi untuk sarapan. Sehabis sarapan, aku bersiap untuk pergi bekerja.
‘’Buk, Gibran pamit nggeh,’’ ucapku sembari mencium punggung tangan ibu.
‘’Iyo le. Ati-ati nang dalan!’’ aku hanya mengangguk. Aku segera mengeluarkan motorku dari garasi.
‘’Assalamualaikum,’’
‘’Waalaikumussalam,’’
Aku pun pergi meninggalkan ibu sendiri. Di perjalanan, aku terus berdoa agar semuanya lancar sesuai apa yang aku harapkan. Tapi, di sisi lain, aku juga sedikit ragu dan takut. Takut jika orderan itu bukan dari manusia. Maksudku, dari demit. Tapi, aku berusaha untuk tidak negative thinking dan feeling bad. Aku mencoba untuk berusaha lebih tenang. Waktu terus berjalan. Matahari mulai terik. Aku tak kunjung menemukan alamat yang dikirim dari Rini. Sudah beberapa kali aku melewati jalan yang sama hanya karena mencari sebuah alamat. Aku terpaksa berhenti di sebuah pos untuk beristirahat sejenak.
‘’Mas, mbadhe teng pundhi?’’ tanya salsah satu tukang ojek tersebut.
‘’Kulo mau nyari alamat niki. Mas ngertos, nopo?’’ aku bertanya kepada tukang ojek tersebut dengan menunjukkan alamat tersebut.
‘’Wah… kulo mboten ngertos kale alamat niki.’’ Jawabnya.
‘’O… nggeh pun, maturnuwun nggeh.’’ Aku pun pergi untuk mencari alamat itu lagi. Alamat ini sangat membingungkan. Beberapa orang yang aku tanyai tentang alamat itu, mereka kebanyakan tidak tahu dan tidak pernah mendengar tentang alamat itu. Tak terasa, matahari mulai turun. Sebentar lagi langit mulai gelap. Aku memutuskan untuk berhenti di sebuah mushalla. Kebetulan adzan sudah berkumandang. Aku pun segera melaksanakan sholat maghrib di mushalla itu. Sehabis sholat, Aku pun kembali untuk beraktivitas. Dari kejauhan, terlihat ada seorang perempuan yang tampak berjalan sendirian. Aku pun menghampirinya. Barangkali ia tau tentang alamat yang akan aku tunjukkan.
‘’Mbak, tau tentang alamat ini?’’
‘’Saya tau mas alamatnya.’’
‘’Mbak, bisa nganterin saya ke alamatnya?’’
‘’Bisa mas. Mari, saya antarkan.’’ Aku mempersilahkan perempuan itu duduk di bagian belakang. Aku pun membawanya agar aku tau dimana alamat tersebut. Kami tak banyak berbicara. Perempuan itu tak berbicara sedikitpun. Ia akan bicara, jika ada yang menanyainya. Beberapa menit kemudian, aku pun sampai di tujuan. Aku segera memarkirkan motorku tak jauh dari keberadaanku.
‘’Ayo mas, silahkan masuk!’’ perintahnya. Aku membututinya dari belakang. Benar, di rumahnya sedang diadakan hajatan pernikahan,tapi tidak terlihat seperti ada acara yang sangat meriah. Tampak suram dan gelap. Begitu pula dengan orang-orang di sekitarnya. Mereka seperti bukan manusia biasanya. Terlihat suram,pucat,penuh dengan luka dan menakutkan. Aku mulai merinding melihatnya.
‘’Mas, silahkan di minum minumannya!’’ ucap seorang perempuan tua sembari menaruh gelas di atas meja. Aku hanya mengangguk dan tersenyum kaku kepadanya. Aku tak berani untuk meminumnya. Takut kalau itu bukan minuman sungguhan. Malam semakin larut. Jam menunjukkan pukul 20.50. Pengantinnya belum juga datang. Aku sudah mulai mengantuk.
‘’Mas, kira-kira kapan pengantinnya datang?’’ aku bertanya kepada pria muda tersebut.
‘’Sebentar lagi mas datangnya.’’ Ucapnya dengan wajah datar. Aneh dan menakutkan. Tak lama, pengantin tersebut datang. Aku segera mengambil kameraku dan memotret-motret mereka. Tetapi, ada kejanggalan dimana saat aku sedang memotret mereka. Mereka tampak terkejut saat aku menggunakan cahaya flash untuk memotretnya. Kenapa mereka terkejut?batinku. Aku mencoba untuk memotretnya lagi. Dan lagi-lagi mereka terkejut seperti kepanasan saat terkena cahaya flash. Tak mau berlama-lama, akhirnya aku memutuskan untuk pulang.
‘’Mas, ini ada souvenir buat mas!’’ teriak perempuan yang tadi aku bonceng. Aku terkejut bukan main. Souvenirnya berupa emas batangan. Aku merasa tak percaya kalau souvenirnya emas batangan.
‘’Makasih ya, mbak.’’
‘’Oh… ya mas, kalau pulang, nanti mas jangan noleh ke belakang, ya!’’ pinta perempuan tersebut. Aku mengernyitkan dahi. Kenapa tak boleh noleh ke belakang?. Merasa takut, aku pun segera mengambil motorku dan segera pergi dari tempat angker tersebut tanpa menolehnya dari belakang. Beberapa jam kemudian, akhirnya aku sampai di rumah. Tepat adzan shubuh berkumandang. Aku sampai di rumah pukul 04.30. Aku segera memasukkan motorku ke dalam garasi dan segera masuk rumah.
‘’Ya Allah, jek ket moleh kowe?’’ ibu bertanya keheranan.
‘’Nanti ae buk ceritane. Gibran capek.’’ Keluhku sembari membawa ransel dan membawanya ke kamar. Aku meletakkan ransel itu di atas kursi. Aku merebahkan badanku di atas kasurku. Aku masih kepikiran dengan kejadian tadi. Sungguh sangat aneh dan menakutkan. Aku berharap ini yang terakhir kalinya dan tidak kejadian seperti ini lagi.
- ● ● ● ● ●
Aku sedang duduk di teras depan rumah. Menikmati secangkir teh dan beberapa keeping biskuit. Diiringi dengan angin yang lumayan dingin hari ini. Aku juga sambil menunggu mbah Berjo datang ke rumahku. Tak lama, terdengar suara pagar terbuka.
‘’Assalamualaikum,’’
‘’Waalaikumussalam,’’
Aku segera memeluk beliau. Tak lupa aku mencium tangan beliau. Melepas kerinduan dengan beliau.
‘’Aku kangen karo mbah,’’ ucapku.
‘’Mbah yo kangen kowe. Piye kabare?’’
‘’Alhamdulillah, Gibran baik.’’
Aku mempersilahkan mbah Berjo untuk duduk. Kami bercerita satu sama yang lain.
‘’Oh… yo mbah wingi entok undangan tekan arek wedok. Jenenge Ajeng. Arek e njaluk tulung nang mbah nggawe ngerias pengantin wedok. Yowes, mbah budhal mrono. Tapi, onok seng janggel karo pengantin wedok e. Pengantin e wes tak wedaki seng akeh, tapi jek tetep pucet rai ne. Padahal iku wedak e wes entek loro. Terus tak kei spray ben wangi, tapi yo jek tetep mambu anyir. Sampek ngentekno rong botol spray. Mbah yo bingung. Terus, wingi Ajeng ngekei mbah duwek sebagai bayarane. Mbah yo seneng lah entok duwek. Lah kok pas nang omah, tak delok duwek e wes dadi godong kabeh. Mbah yo ket nyadar nek iku undangan tekan demit.’’ Ucapnya panjang-lebar. Telingaku menangkap kata ‘demit’ dari cerita Mbah Berjo. Cerita itu sama persis dengan ceritaku. Hanya saja beda tempat, orang dan juga beda kejadian.
‘’Aku yo wingi entok orderan tekan arek wedok. Jenenge Rini. Arek e njaluk tulung nggawe nge-foto acara hajatane arek e. Yowes, aku budhal. Awal e aku gak nemu alamate. Aku wes muter-muter nggawe nggolek alamate maeng. Aku nggolek e sampek wengi. Akhire aku ketemu karo arek wedok nang dalan. Arek e tepat mlaku ijen. Tak takoki lah arek e. Arek e ngerti alamate. Aku njaluk tulung nang arek e nggawe ngeterno aku nang alamat iku maeng. Pas wes tutuk, omah e koyok omah hantu. Suram,peteng pula. Kek gak onok penerangan. Aku nang kunu ngenteni suwe. Aku gak wani mangan utawa ngombe tekan acarane. Wedi nek iku gak temenan. Gak suwe titik, pengantine teko. Iku wes tepat tak foto-foto. Tapi pas tak foto, pengantine iku malah kaget. Koyok wedi karo cahaya flash tekan kamera. Tak coba maneh, jek tetep koyok maeng. Aku wes gak kuat. Akhire aku moleh. Sakdurunge moleh, aku dikei souvenir emas batangan. Awale aku gak percoyo. Tapi,ketokane emase asli. Yowes tak gowo sampek saiki,’’ aku bercerita panjang lebar. Mbah Berjo terkejut saat mendengar ceritaku. Ceritanya sama persis dengan ceritaku.
‘’Coba, kameramu njupuk en! Mbah pengen ndelok!’’ perintahnya. Aku segera mengambil kamera tersebut. Dan benar saja, gambar yang aku potret selama ini bukanlah manusia. Melainkan sosok pocong yang ada di kameraku. Aku terkejut melihatnya. Begitu juga dengan Mbah Berjo. Selama ini aku memotret sesosok pocong yang berada di hutan yang sangat gelap. Sosok itu cukup banyak.
‘’Saiki coba delok en souvenirmu!’’ aku segera mengambil souvenir itu dari dalam tas. Benar saja, souvenir itu berubah menjadi dedaunan. Apa yang aku ragukan dan aku takutkan, kini berubah menjadi kenyataan. Tak seharusnya aku menerima orderan dari Rini. Bukan Rini, tapi demit.
THE END

Penulis Indonesiana
0 Pengikut
Lilin Biru Laut
Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIBPengantin Itu Ternyata…..
Rabu, 8 Desember 2021 21:11 WIBBaca Juga
Artikel Terpopuler